Motivasi Berserah Diri



Kala itu, Sabtu, 19 Februari 2011. Aku dan suamiku pergi berdua saja saat itu, si kecil tidak kami ajak dengan pertimbangan karena sudah jam 19:00 dan kami perlu bergerak cepat. Jadi kami pun langsung tancap gas naik motor.

Cuaca sangat mendung disertai anging dingin.

“Semoga ga ujan deres lah”, ucapku dalam hati. Kami tergesa-gesa menyusuri jalan menuju Stasiun Tugu Yogyakarta, dan tiba-tiba….. “Ssssssttt…. Ciiiiittt….!!!”

Motor sedikit oleng beberapa saat, ternyata bannya bocor. Kami bergerak pelan ke pinggir jalan dan suamiku memeriksa kondisi ban. “Yah…. harus cari tukang tambal ban, Sayang”, kata suamiku sambil celingukan berharap ada tukang tambal ban yang tampak di sekitar tempat kami berada. Aku pun memicingkan mata, meneliti setiap sudut jalan, mencari dimana tukang tambal ban.

Karena tidak juga menemukan tukang tambal ban di sekitar Tugu, kami berjalan sambil mendorong motor ke arah Jalan Mataram. Hujan mulai turun rintik-rintik. Akhirnya tampak lapak tambal ban di pojokan jalan situ. “Thanks God...”

Belum juga kalimat itu terselesaikan didalam hatiku, aku tertegun melihat tukang tambal ban itu ternyata seorang wanita. “Wow! Hebat!!.. Salut!!..”, seruku dalam hati. Kami serta-merta disambutnya dan tanpa basa-basi wanita ini langsung mengerjakan tugas. Hujan makin deras disertai angin, maka kami diminta berteduh di dalam lapak.

Ternyata, wanita ini tidak hanya bekerja sebagai tukang tambal ban. Tampak beberapa televisi rusak lengkap dengan alat-alat reparasi disitu, membawa kami kepada kesimpulan bahwa dia ahli reparasi televisi dan juga ada bensin literan yang dijual didepan lapaknya. Ada rasa penasaran yang muncul apa latar belakang wanita ini. Mataku berkelana di lapak berukuran kira-kira 4x4 meter itu lalu suamiku berkata, Sayang, lihat deh foto itu. Kupalingkan tatapanku pada satu foto yang sepertinya dilakukan di studio. Foto yang sangat anggun dengan pose sebagaimana layaknya seorang model. Kami saling bertanya apakah benar itu foto si tukang tambal ban. 

Beberapa saat kemudian, wanita itu mendekati anaknya yang saat itu lagi asyik nonton TV. “Gil, Mak balik sek sedilit arep ngecek omah, wedine Kali Code banjir (Gil, Mak pulang dulu sebentar, mau cek rumah, takutnya Kali Code banjir)”, katanya. Si anak mengangguk tapi sesaat kemudian merengek, “Mak, melu… (Mak, ikut…)”. Rengekan anak itu menjadi sedikit penghalang untuknya karena hujan sangat deras dan anaknya bisa sakit apabila ikut pulang. Terdengar sekelumit ucapan dari mulut mungli anak itu yang tak terlalu jelas terdengar olehku saking derasnya hujan. Tapi kemudian wanitu itu berkata, Lah, jarene Mak kon golek dhuwit kanggo tuku mobil-mobilan? (Lah, katanya Mak disuruh cari uang untuk beli mainan mobil?)”.

 

Tak terasa, aku menitikkan air mata. Kalimat sederhana itu sangat menggelitik. Aku termenung, memikirkan keadaanku sendiri saat ini dan menyadari segala hal yang terjadi dalam hidupku dan keluargaku. Dalam hati aku berbisik:

“Betapa banyak berkat Tuhan yang boleh aku terima. Dan betapa sering aku mengeluh tentang hidupku, sementara banyak orang yang kurang beruntung di luar sana”.

God… bahkan sampai hari ini, wajah wanita itu masih terbayang. Dia tidak mengemis di jalan tapi dia bekerja tanpa peduli pekerjaan bagaimana sulitnya. Di tengah kerasnya hidup, dia berjuang sebagai seorang Ibu demi sang anak. Dia tidak peduli, sebagai wanita yang sarat dengan keindahan, dia tidak peduli kuku-kuku tangannya menjadi kotor dan hitam karena oli, asap, dan ban motor. Hebat Hebat Hebat! hanya itu yang bisa aku ucapkan tak henti-henti.

Apa yang bisa kita lakukan, kita lakukan dengan sepenuh hati dan menyerahkan hasil usaha kita kepada Sang Pencipta dengan keyakinan bahwa Tuhan mencukupkan semuanya.
Tak perlu ada pikiran negatif, tak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain, cukup berserah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOOK: Day by Day with My Son

Dua Guru Kecilku