Kepuasan vs Kecukupan


Kali ini aku pengen share pengalaman hidup kami di awal pernikahan.
Mungkin dari cerita kami bisa berguna untuk teman-teman yang berkunjung disini untuk kemudian melihat kembali perjalanan hidup kalian dan semoga bisa diambil hikmahnya.

Peristiwa ini terjadi antara bulan April 2008 sampai April 2009
Saat itu Aji diterima di sebuah perusahaan consumer good terkemuka di Indonesia (setelah 2x pindah kerja hehehe...) dan sudah 3 bulan kerja. Awalnya, dia berkantor di Jakarta tapi setelah lolos masa percobaan 3 bulan  pihak kantor menempatkan Aji di Surabaya. 

Sontak aku terkejut denger berita penempatan kerja ini. Tidak pernah terbayang dalam benakku bahwa kami akan berpisah kota setelah menikah, apalagi saat itu kami baru tahu bahwa aku hamil anak pertama kami (Abi). Sama sekali ga ada tanda-tanda bahwa dalam waktu dekat dia akan dipindahkan ke Surabaya. Tapi sebagai karyawan baru, tentu saja tidak bisa menolak tanggung jawab tersebut walaupun sangat mendadak.

Kami ga dapat berbuat banyak, hanya pasrah. Aku sendiri berusaha keras untuk menutupi perasaan takutku pas liat dia tampak bersemangat menjalani tanggung jawab barunya.
“He wants this?...”, batinku. 
Kembali terlintas dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu kami berdebat tentang keinginan dia pindah kerja lagi. Walaupun aku paham dengan keinginan dia untuk menjadi Kepala Keluarga yang baik yang dapat mencukupi kebutuhan istri dan anak, tapi entah kenapa aku lebih melihatnya sebagai suatu kepuasan yang tak pernah tercukupkan dalam materi. Atau status? Semoga hal itu tidaklah benar.

Hampir 1 tahun berlalu, sejak April 2008.
Dia di Surabaya, aku di Jakarta bekerja dan menjalani kehamilanku. Kami bertemu 2–3 minggu sekali. Tapi lebih sering sih 3 minggu sekali karena perjalanan Surabaya - Jakarta ga sebentar juga dan menyesuaikan waktu kerja dia... Hmmm.. waktu itu transportasi nya naik Kereta Api.. aku lupa deh kenapa ga naik pesawat ya?

Pebruari 2009, Abimanyu lahir di Jogja. 
Tapi belum ada dua minggu setelah kelahiran abi, peristiwa baru yang lagi-lagi di luar dugaan terjadi. Aji bersikap seperti orang yang ketakutan dan putus asa yang berlebihan. 
Saat itu dia harus mempersiapkan bahan untuk proses evaluasi masa kerja. 
Entah apa yang membuat dia bersikap seperti itu, berbagai pertanyaan dan diskusi aku lontarkan tetapi hanya satu jawaban dia, “Aku takut, Ma… Ga tau.. tapi aku takut!.....”
"Takut apa sih?", selalu itu yang menjadi pertanyaanku
"Ga tau.. Ga tau", jawabnya
Bentuk-bentuk kegelisahan sebenernya sudah dia tunjukkan sejak akhir tahun 2008. Dia merasa tidak nyaman disana, bahkan sering bermimpi yang aneh-aneh.
Kalo saat ini kami flash-back keanehan-keanehan yang terjadi saat itu, baru ngeh deh bahwa itu adalah tanda-tanda dari alam semesta untuk mengembalikan apa yang semestinya.

Lanjut...
Sampai suatu saat.. kondisi Aji memburuk, dia jadi kurang bisa diajak komunikasi melalui telepon karena lebih banyak diam dan tidak fokus bahkan sering menangis. 
Perasaanku sedih, marah, bingung, ga karuan menghadapi keadaan ini, sedangkan di saat yang sama aku masih proses pemulihan setelah melahirkan dan juga menyusui. 
Namun, ada kekuatan dalam hati kecilku yang mendorong aku untuk menyusul Aji ke Surabaya, memastikan bahwa semuanya harus dilewati dan akan baik-baik saja. 
Dengan segenap kekuatan yang ada, aku nekad menyusulnya ke Surabaya tanpa memberitahu lebih dulu. Padahal aku sama sekali ga tahu seperti apa kondisi di Surabaya (terakhir ke Surabaya pas SMP) dan lokasi tempat kerjanya pun aku ga tau.

Sampe disana, kutemukan sosok lain dari suamiku ini....
Seolah dia sedang berusaha mengangkat beban berat yang aku sendiri tidak tahu apa. 
Curahan kerinduan dan kepenatan batin terungkapkan dari hati ke hati, namun tetap belum menyembuhkan ketakutan yang sedang dialaminya. Aku biarkan Aji curahin semuanya biar lega.
Tapi justru aku mulai melihat apa yang sesungguhnya terjadi, yaitu sebuah penolakan dari hati terdalam terhadap kondisi dan sistem di lingkup pekerjaan yang tidak sesuai. Inilah yang paling mendasar penyebab kegelisahan, di samping faktor lain tak terkatakan dengan unsur kesengajaan sebagai pemicu ketakutannya. 

Aku bawa Aji pulang ke Jogja untuk menenangkan pikiran dan supaya bisa refresh.
Juga.. kami menceritakan apa yang terjadi dengan keluarga 
Dengan berbagai pertimbangan dan juga mengikuti saran-saran orang tua pastinya... 
Akhirnya, kami putuskan Aji berhenti bekerja dari perusahaan tersebut.
Dan entah kenapa, setelah berhenti.. Aji bisa kembali ke Aji yang dulu.
Terima kasih Tuhan.. syukurku kepadaMu selalu untuk kekuatanku saat itu.
Sebagai seorang Kepala Keluarga, sangat dipahami ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri apabila kebutuhan keluarga sepenuhnya tercukupi. Namun, keinginan untuk mencapai suatu kecukupan tidak serta-merta berdasar pada kepuasan.

Kepuasan manusia tidak akan ada habisnya, sedangkan sebuah kecukupan akan ditunjukkan melalui fungsinya dalam kehidupan berkeluarga kita. Apa yang menjadi kebutuhan keluarga selalu dapat dibicarakan secara horizontal antara suami-istri dan secara vertical antara suami-istri dan Tuhan, Sang Pemberi Kehidupan. Dan, YAKINLAH!... segala sesuatu ada waktunya.

Tidak selalu hidup berkelimpahan materi adalah baik dan sebagai target pencapaian yang seharusnya di dunia ini.   
Perhatikanlah apa yang dikatakan jauh di hati terdalam kita untuk kita lakukan di dunia ini. 
Hidup tentram dan damai, adalah yang terpenting.

Tuhan Memberkati..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOOK: Day by Day with My Son

Motivasi Berserah Diri

Dua Guru Kecilku